Wahyu
pertama turun
Aisyah r.a.
-seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari- berkata, awal permulaan wahyu
kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar. Beliau tidak melihat sesuatu
mimpi, kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau
menyendiri di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam sebelum kembali ke
keluarganya dan mengambil bekal untuk kegiatannya itu sampai beliau dikejutkan
oleh kedatangan Malaikat Jibril pada saat berada di Gua Hira.
Malaikat
Jibril mendatangi beliau dan berkata, “Bacalah!” Rasulullah saw. menjawab,
“Saya tidak dapat membaca.” Beliau mengatakan, lal malaikat itu memegang dan
mendekapku sampai aku merasa lelah. Kemudian ia melepaskanku dan megnatakan,
“Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca!’ Malaikan itu mengulanginya
untuk yang ketiga sambil mengatakan, “Iqra’ bismi rabbikal ladzii khalaq;
bacalah, dengann menyebut nama Rabbmu yang menciptakan.” (Al-’Alaq: 1)
Kemudian
Rasulullah saw. pulang. Kepada isterinya, Khadijah, beliau berkata, “Selimuti
aku, selimuti aku.” Lalu beliau diselimuti sampai rasa keterkejutannya hilang.
Kemudian beliau menceritakan apa yang terjadi kepada Khadijah. “Aku Khawatir
terhadap diriku.” Khadijah menjawab, “Tidak. Demi Allah, sama sekali Dia tidak
akan menghinakanmu selamanya. Sebab, engkau orang yang mempererat tali
persaudaraan dan memikul beban orang lain. Engkau orang yang menghormati tamu,
membantu orang yang susah, dan membela orang-orang yang berdiri di atas
kebenaran.”
Kemudian
Khadijah pergi bersama Nabi saw. menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah
pernah menulis kitab Injil berbahasa Ibrani. Khadijah berkata, “Wahai anak
pamanku, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudarmu.” Waraqah bertanya dan
ketika Rasulullah saw. menceritakan peristiwa yang dialaminya, ia berkata, “Itu
adalah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah swt. kepada Nabi Musa a.s.
Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa. Alangkah gembiranya
seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu.”
Rasulullah
saw. bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak
seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi.
Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu pasti
aku akan membantumu sekuat tenagaku.”
Setelah itu,
selama tiga tahun lamanya Rasulullah saw. berdakwah secara rahasia. Hingga
kemudian turun surat Al-Hijr ayat 94 yang memerintahkan Rasulullah saw. agar
berdakwah secara terang-terangan. “Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musryik.”
Berdakwah
secara terang-terangan
Rasulullah
saw. pun menjalankan perintah itu. Berdakwah secara terang-terangan selama 10
tahun. Terutama di musim-musin haji. Beliau mendatangi orang-orang dari rumah
ke rumah. Berdakwah di Pasar ‘Ukkadz, Majannah, dan Dzul-Majaz. Beliau mengajak
orang banyak untuk memeluk Islam dan menawarkan surga sebagai imbalan. Beliau
sampaikan seluruh risalah Allah swt. yang sampai kepadanya ketika itu. Namun,
tidak banyak yang mau menyambut ajakannya.
Bahkan
Rasulullah saw. menemui banyak rintangan. Berbagai macam siksaan yang
menyulitkan langkah dakwahnya datang dari masyarakat Mekkah. Tidak sedikit
orang menuduh beliau sebagai orang gila, tukang sihir, atau dukun.
Hijrah ke
Habasyah
Pada tahun
ke-5 kenabian, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabatnya hijrah ke Habasyah
(sekarang Ethiopia). Keputusan ini diambil karena siksaan yang dilakukan
masyarakat Quraisy terhadap kaum muslimin ketika itu semakin gencar. Rasulullah
saw. memilih Habasyah karena, “Di sana terdapat seorang pemimpin yang tidak
aniaya terhadap siapa pun yang ada di dekatnya.”
Rombongan
sahabat Rasulullah saw. yang hijrah pertama kali ini terdiri atas 12 orang pria
dan 4 orang wanita. Rasulullah saw. menunjuk Utsman bin Affan sebagai amir
kafilah hijrah ini.
Hijrah
kedua ke Habasyah
Tak lama
kemudian Hamzah bin Abdul Muthallib dan Umar bin Khaththab masuk Islam. Kabar
ini sampai ke telinga para sahabat yang hijrah di Habasyah. Mereka tahu betul
bahwa Hamzah dan Umar adalah sosok yang punya karakter, berani, dan perkasa.
Karena itu mereka yakin bahwa dengan masuknya kedua orang itu kaum muslimin di
Mekkah akan menjadi kuat. Karena itu, para muhajirin itu memutuskan untuk
kembali pulang ke Mekkah.
Namun,
tatkala sampai ke Mekkah mereka mendapati tidak seluruh kaum muslimin terbebas
dari siksaan kaum Quraisy. Terutama mereka-mereka yang tidak mendapatkan
jaminan keselamatan dari tokoh-tokoh Quraisy terpandang. Ketika siksaan dari
kaum Quraisy sampai pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum
muslimin yang lemah, Rasulullah saw. mengizinkan mereka kembali hijrah ke
Habasyah.
Hijrah yang
kedua kalinya ini dilakukan oleh 83 orang pria dan 19 orang wanita. Kaum
musyrikin Quraisy mengutus Amr bin Al-’Ash dan ‘Ammarah bin Al-Walid menemui
Najasyi, Raja Habasyah. Mereka membawa berbagai hadiah. Mereka meminta Najasyi
mengekstradisi kaum muslimin lari dari Mekkah. Namun Najasyi menolak sebelum
mendengar langsung perkara yang sebenarnya dari pihak kaum muslimin.
Ja’far bin
Abu Thalib r.a. tampil menjadi juru bicara kaum muslimin. Ia menjelaskan
keadaan mereka ketika di masa jahiliyah dan bagaimana mereka berubah ketika
menerima Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Hidayah itu telah mengubah diri
mereka menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Ja’far juga memperdengarkan
beberapa ayat Al-Qur’an kepada Raja Najasyi, yaitu awal surat Maryam. Ayat itu
berisi padangan Islam tentang Isa bin Maryam a.s. Isa adalah seorang hamba
Allah dan Rasul-Nya. Mendengar keterangan itu, Najasyi memutuskan mengembalikan
semua hadiah kaum musyrikin Quraisy dan memuliakan kaum muslimin sebagai tamu
di negerinya.
Berbagai
jenis siksaan yang menimpa Rasulullah saw. dan sahabatnya
Ada dua
alasan mengapa kaum Quraisy tidak mau menerima dakwah Rasulullah saw. padahal
mereka tahu betul akan kepribadian Rasulullah saw. yang tidak pernah berdusta.
Bahkan mereka sendiri menggelari Rasulullah saw. dengan sebutan Al-Amin (orang
yang terpercaya).
Alasan
pertama, ritual penyembahan mereka kepada berhala adalah tradisi yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu, Islam dipandang sebagai
ajaran yang mengancam tradisi leluhur yang harus mereka pertahankan. Alasan
kedua, kaum Quraisy secara turun temurun punya kedudukan tinggi di masyarakat
Mekkah. Mereka mengurus jamaah haji, memegang kunci Ka’bah, dan menguasai sumur
Zamzam. Kedatangan Islam akan menggeser hak istimewa mereka itu. Karena itu,
mereka menolak dakwah Rasulullah saw.
Mereka
berusaha menghentikan dakwah Rasulullah saw. Mereka menawarkan tiga hal -harta,
tahta, dan wanita-kepada Rasulullah saw. agar berhenti mendakwahkan Islam.
Rasulullah saw. menolak. Bahkan Rasulullah saw. menawarkan, “Ucapkanlah laa
ilaaha illallah, niscaya kalian akan mengusai bangsa Arab.”
Cara
“halus” tak berhasil. Mereka menebar teror dengan siksaan terhadap Nabi dan
kaum muslimin. Jika terhadap muslim yang memiliki kedudukan dan kehormatan
dalam masyarakat, musyrikin Quraisy hanya menebar ancaman. Abu Jahal
mengintimidasi seorang muslim golongan ini, “Engkau tinggalkan agama nenek
moyangmu, padahal mereka lebih baik darimu. Kami akan rendahkan angan-anganmu.
Kami akan lecehkan kehormatanmu. Akan kami rusak usahamu dan kami hancurkan
hartamu.”
Terhadap
kaum muslimin dari golongan lemah -apakah lemah secara ekonomi (fakir miskin
atau lemah secara status sosial (budak)-musyrikin Quraisy tidak segan-segan
menyiksa mereka. Bani Makhzum menyiksa keluarga Yasir. Yasin dan istrinya,
Sumayyah, syahid dalam siksaan tersebut. Ammar bin Yasir memelas kepada Rasulullah
saw., “Wahai Rasul, siksaan kepada kami telah mencapai puncaknya.” Rasulullah
saw. menghibur Ammar, “Bersabarlah, wahai Abul Yaqdzan. Bersabarlah, wahai
keluarga Yasir. Balasan untuk kalian adalah surga.”
Kaum
musyrikin juga menyeret Bilal bin Rabah ke tengah padang pasir di tengah hari.
Mereka melempari tubuh telanjang Bilal dengan batu-batu yang terpanggang panas
matahari. Kemudian menindih dada Bilal dengan batu besar. Mereka memerintahkan
Bilal menyebut nama tuhan-tuhan mereka. Tapi Bilal menolak. Ia mengucap, “Ahad,
Ahad….”
Bani Hasyim
diboikot, Abu Thalib dan Khadijah wafat
Kaum
musyrikin Quraisy mengirim utusan kepada Abu Thalib, paman Nabi, membawa
penawaran: jika keponakannya menginginkan kerajaan, mereka siap mengangkatnya
menjadi raja; jika menginginkan harta, mereka siap mengumpulkan harta sehingga
tidak ada yang terkaya kecuali Nabi; jika Nabi terkena gangguan jin, mereka
siap mencarikan obat untuk menyembuhkanya; asal Nabi berhenti mendakwahkan
Islam.
Rasulullah
saw. menolak tawaran itu. Kepada Abu Thalib, beliau berkata, “Demi Allah, jika
mereka meletakkan matahai di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku
tidak akan meninggalkan (dakwah) ini, sampai Allah memenangkannya atau aku
hancur karenanya.”
Mendengar
jawaban itu, Abu Thalib berkata, “Teruskanlah urusanmu. Demi Allah, aku tidak
akan menyerahkanmu selamanya.” Kemudian Abu Thalib mengumpulkan keluarga
dekatnya untuk membela Rasulullah saw. Bani Hasyim dan Bani Muthallib datang,
kecuali Abu Lahab.
Sementara
Bani Hasyim dan Bani Muthallib -baik yang sudah beriman maupun yang masih
musyrik– berkumpul untuk membela Rasulullah saw., kaum musyrikin juga
berkumpul. Mereka sepakat untuk tidak melakukan jual-beli dan tidak memasuki
rumah-rumah Bani Hasyim dan Bani Muthallib sebelum Rasulullah saw. diserahkan
kepada mereka untuk dibunuh. Kesepakatan ini ditulis di sebuah spanduk dan di
simpan di dalam Ka’bah.
Atas boikot
tersebut, Abu Thalib memerintahkan kerabatnya untuk masuk ke dalam Syi’ib
(lembah) dan berdiam di sama. Itulah awal tiga tahun masa boikot yang penuh
derita dan guncangan.
Ternyata
masih ada nurani di beberapa orang tokoh Quraisy. Hisyam bin Amr, Zuher bin
Umayyah, Abul Kakhtari bin Hisyam, Zam’ah bin Al-Aswad, dan Muth’im bin ‘Adi
bersepakat untuk membatalkan isi penjanjian musyrikin Quraisy. Sebelumnya
Rasulullah saw. telah mengabarkan kepada pamannya, Abu Thalib, bahwa Allah
telah mengutus rayap menghancurkan spanduk kesepakatan tersebut dan hanya
menyisakan kalimat “Bismika Allahumma” (dengan nama-Mu, ya Allah).
Benar saja.
Saat memasuki Ka’bah, Muth’im bin ‘Adi mendapati kondisi spanduk kesepakatan itu
seperti yang diberitakan Rasulullah saw. Maka keluarlah Bani Hasyim dan Bani
Muthallib dari Syi’ib. Mereka kembali berbaur bebas dengan masyarakat.
Peristiwa ini terjadi di tahun ke-10 kenabian. Enam bulan setelah peristiwa
ini, Abu Thalib wafat.
Rasulullah
saw. bukan hanya kehilangan paman yang membelanya, tapi juga kehilangan isteri
yang menjadi teman seperjuangan. Khadijah wafat di tahun yang sama dengan
wafatnya Abu Thalib. Musibah yang beruntun terhadap diri Rasulullah saw. ini
disebut ‘Amul Huzni (Tahun Kesedihan). ‘Amul Huzni terjadi selama 3 tahun
sebelum perintah hijrah ke Madinah. Sebab, tiga tahun terakhir itu penindasan
kaum Quraisy terhadap kaum muslimin dan upaya pembunuhan terhadap Rasulullah
saw. demikian memuncak.
Isra’ dan
Mi’raj
Di tengah
himpitan musuh dan kehilangan pembela, Rasulullah saw. ditemani Jibril,
diperjalankan oleh Allah swt. dari Mekkah ke Baitul Maqdis dengan mengendarai
Buraq. Di Baitul Maqdis Rasulullah saw. shalat dan menjadi imam dengan makmum
para nabi. Setelah itu, Nabi saw. naik ke langit dunia. Di sana beliau bertemu
dengan Nabi Adam a.s. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Yahya a.s. Di
langit ketiga bertemu Nabi Yusuf a.s. Di langit keempat Nabi Idris. Di langit
kelima bertemua Nabi Harun. Di langit kelima bertemu dengan Nabi Musa a.s. Di
langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim a.s. Kemudian Rasulullah saw. sampai di
Sidratul Muntaha, lalu diangkat ke Baitul Ma’mur. Di sini Jibril terlihat dalam
bentuknya yang asli.
Allah saw.
telah berbicara dengan Rasulullah saw. dan memberi perintah wajibnya shalat 5
waktu. Sebelumnya perintah itu adalah 50 kali dalam sehari semalam. Tapi,
setelah berdiskusi dengan Nabi Musa, Rasulullah saw. bolak-balik meminta
keringanan kepada Allah swt.
Rasulullah
saw. menceritakan tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini kepada kaum muslimin
dan penduduk Mekkah. Kaum musyrikin mendustakan, meski Rasulullah saw. mampu
memberi bukti dengan menerangkan secara terperinci tentang Baitul Maqdis dan
kafilah Quraisy yang tengah kembali dari Syam.
Hanya Abu
Bakar orang yang tidak ragu dengan cerita Rasulullah saw. tersebut. Tak heran
jika Rasulullah saw. memberinya gelar As-Shiddiq.
Masuk
Islamnya Penduduk Yatsrib
dakwatuna.com
- Kota Yatsrib berpenduduk asli Suku Aus dan Suku Khazraj. Di samping mereka,
orang-orang Yahudi juga menentap di sana. Meski bermuamalah dengan penduduk
Suku Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi tidak bisa menutupi sikap permusuhan
mereka. Bahkan, orang-orang Yahudi ini menjanjikan bahwa akan datang seorang
nabi yang akan memimpin mereka memerangi Suku Aus dan Khazraj sebagaimana
memerangi kaum ‘Ad dan Tsamud.
Keyakinan
akan datangnya nabi tersebut begitu melekat di penduduk Yatsrib. Hingga suatu
ketika di musim haji Rasulullah saw. berdakwah dengan mendatangi
kabilah-kabilah yang tengah melaksanakan haji di Baitullah. Rasulullah saw.
berjumpa dengan rombongan dari Suku Khazraj. Beliau menawarkan Islam kepada
mereka. Orang-orang Khazraj saling berkata kepada satu sama lain, “Ketahuilah,
demi Allah, ini adalah Nabi yang pernah dijanjikan oleh orang-orang Yahudi
kepada kalian. Maka, jangan sampai mereka mendahului kalian.”
Spontan
orang-orang Suku Khazraj itu menerima ajakan Rasulullah saw. Mereka masuk
Islam. Mereka kembali ke Yatsrib dan mengajak kaumnya masuk Islam sehingga
tidak ada satu pun rumah-rumah Suku Khazraj dan Aus yang penghuninya tidak
membicarakan tentang Rasulullah saw. dan agama Islam.
Bai’at
Aqabah
Setahun
setelah perjumpaan pertama itu, 12 orang penduduk Yatsrib yang telah beriman
pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan menemui Rasulullah saw. Mereka
bertemu di Aqabah. Di sana mereka membai’at (bersumpah setia) kepada Rasulullah
saw. Isi bai’at mereka adalah seperti bai’at kaum wanita. Isi bai’at wanita
adalah, pertama, tidak mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; kedua,
tidak mencuri; ketiga, tidak akan berzina; keempat, tidak akan membunuh anak-anak
mereka sendiri, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan
dan kaki mereka, dan tidak berdurhakai Rasulullah dalam urusan yang baik.
Mereka juga
shalat bersama Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. mengutus Mus’ab bin
Umair untuk mewakili Rasulullah saw. membacakan Al-Qur’an dan mengajarkan Islam
kepada mereka di Yatsrib.
Pada musim
haji berikutnya Mus’ab bin Umair membawa rombongan muslimin Yatsrib yang
terdiri atas 73 pria dan 2 wanita menuju Mekkah. Mereka membuat janji bertemu
dengan Rasulullah saw. pada pertengahan hari tasyrik di Aqabah. Setelah lewat
sepertiga malam di malam waktu yang dijanjikan, rombongan itu menjumpai
Rasulullah saw. secara diam-diam.
Rasulullah
saw. menerima mereka didampingi oleh Abbas, paman beliau. Abbas menyelidiki
ketulusan orang-orang Yatsrib untuk membela Rasulullah saw. Setelah itu
Rasulullah saw. bersabda, “Aku membai’at kalian untuk membelaku -jika aku
dantang kepada kalian-seperti kalian membela anak dan istri kalian; dan bagi
kalian surga.” Setelah itu, satu per satu orang-orang Yatsrib yang hadir
berdiri dan membai’at Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw. meminta mereka
menyiapkan 12 orang naqib.
Setelah
orang-orang Yatsrib meninggalkan Mekkah, kabar tentang peristiwa bai’at itu
sampai ke telinga kalanga Quraisy. Orang-orang Quraisy berusaha mengejar
rombongan itu, namun tidak berhasil menemukan.
Pada Bai’at
Aqabah kedua ini, Rasulullah saw. menambahkan satu isi yang tidak ada di Bai’at
Aqabah pertama, yaitu syarat ikut berperang. Kaum muslimin Yatsrib diminta
berjanji untuk ikut berperang di sisi Rasulullah saw. Ubadah bin Shamit r.a.
adalah salah seorang yang hadir dalam peristiwa itu. Ia berkata, “Kami telah
berbai’at kepada Rasulullah saw. pada bai’atul-harbi (bai’at perang) untuk
mendengar dan setia dalam keadaan susah dan senang, dalam keadaan bahagia dan
sengsara, serta mendahulukan kepentingan dakwah atas kepentingan diri sendiri,
tidak akan menentang urusan dari ahlinya, mengatakan yang benar di manapun kami
berada, serta kami tidak akan takut kepada celaan orang lain dalam menegakkan
agama Allah.”
Hijrah Ke
Madinah
Rasulullah
saw. memberi izin kaum muslimin untuk hijrah ke Yatsrib. Maka bergegaslah
mereka hijrah diam-diam secara sendiri-sendiri atau berombongan. Hingga kaum
muslimin di Mekkah hanya tersisa Rasulullah saw. bersama Abu Bakar dan Ali bin
Abu Thalib serta beberapa orang lagi yang ditahan paksa musyrikin Quraisy.
Kaum
Quraisy tahu betul bahwa kaum muslimin hijrah ke tepat yang strategis. Yatsrib
adalah lintasan kafilah dagang kaum Quraisy menuju Syam. Karena itu, mereka
khawatir jika Rasulullah saw. sampai ikut hijrah ke Yatsrib akan membuat fatal
urusan dagang mereka. Maka mereka berkumpul di Darun Nadwah.
Mereka
sepakat masing-masing kabilah akan mengirim seorang pemuda dengan pedang
terhunus untuk membunuh Rasulullah saw. secara bersama-sama. Dengan demikian,
darah Rasulullah saw. menjadi noda seluruh kabilah yang ada di Mekkah dan Bani
Abdi Manaf tidak dapat menuntut balas.
Rencana
jahat itu disampaikan Ibis dalam bentuk seorang tokoh dari Nejed, sehingga
secara aklamasi disetujui oleh orang-orang yang hadir.
Allah swt.
mengutus Jibril a.s. untuk mengabarkan rencana jahat itu. Kata Jibril, “Engkau
jangan tidur malam ini di atas tempat tidur yang biasa engkau gunakan.” Lalu
Rasulullah saw. memerintahkan Ali bin Abu Thalib tidur di tempat tidurnya
dengan berselimut.
Para pemuda
utusan seluruh kabilah memata-matai rumah Rasulullah saw. Rasulullah saw.
mengambil segenggam tanah lalu melemparkan ke atas kepala mereka sambil membaca
ayat ke-9 surat Yasin, “Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di
belakang mereka dinding pula; dan Kami tutup mata mereka sehingga mereka tidak
dapat melihat.”
Rasulullah
saw. dan Abu Bakar bergegas menuju Gua Tsur. Di sana mereka bersembunyi selama
3 hari. Seekor laba-laba menutupi mulut gua dengan anyaman jaring-jaringnya.
Seekor burung merpati bertelur di depan gua. Abu Fuhairah, pesuruh Abu Bakar,
ditugaskan mengembalakan kambing untuk menghapus jejak Rasulullah saw. Namun,
para pencari jejak kaum Musyrikin Quraisy sampai juga ke mulut Gua Tsur. “Jika
salah seorang di antara mereka melihat ke bawah, niscaya mereka akan melihat
kami,” kata Abu Bakar. Namun Rasulullah saw. berkata kepada Abu Bakar,
“Bagaimana engkau mengira kita dua orang, padahal Allah yang ketiga.”
Di hari
ketiga Abdullah bin Uraiqit yang bukan muslim, datang membawa unta dan menjadi
petunjuk jalan hijrah Rasulullah saw. menuju Yatsrib. Sementara kaum Quraisy
yang merasa kecolongan, mengumumkan hadiah bagi siapa saja yang berhasil
mendatangkan kembali Rasulullah saw. dan Abu Bakar.
Suraqah
berharap mendapat hadiah itu. Ia menemukan jejak Rasulullah saw. Namun ketika mencoba
mendekat, Rasulullah saw. berdoa. Dua kaki depan kuda Suraqah terbenam ditelan
bumi. Suraqah memohon agar Rasulullah saw. mendoakan kudanya keluar dari
himpitan bumi dan ia berjanji akan menghalau para pemburu hadiah dari Nabi dan
Abu Bakar. Rasulullah saw. mengabulkan bahkan menjanjikan gelang Kaisar Persia.
“Bagaimana pendapatmu, wahai Suraqah, jika engkau memakai gelang-gelang Kisra?”
Janji ini terpenuhi di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab.
Rute yang
ditempuh Rasulullah saw. menuju Yatsrib bukan rute biasa. Rasulullah saw.
dibawa Abdullah bin Uraiqit menyusuri pesisir Laut Merah. Dalam perjalanan itu
Rasulullah saw. melawati kemah milik Ummu Ma’bad. Tahun itu adalah musim kering
dan tandus. Tidak ada air. Rasulullah saw. meminta izin kepada Ummu Ma’bad
untuk memerah seekor kambing kurus miliknya.
Rasulullah
saw. memerah susu kambing itu. Satu bejana penuh mereka minum. Sebelum pergi
melanjutkan perjalanan, Rasulullah saw. memerah lagi satu bejana penuh untuk
Ummu Ma’bad. Ketika suaminya tiba, Ummu Ma’bad menceritakan peristiwa itu.
Suaminya berkata, “Demi Allah, aku berpendapat, dialah orang yang sedang
dicari-cari oleh orang Quraisy.”
Tiba Di
Madinah
Sejak
mendengar kabar Rasulullah saw. telah keluar dari Kota Mekkah, setiap hari kaum
muslimin Yatsrib keluar rumah menunggu-nunggu kedatangan beliau. Hingga orang
yang ditunggu itu tiba pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal di tahun ke-13
kenabian.
Seorang
Yahudi berteriak-teriak di atas bangunan tertinggi Yatsrib menginformasikan
kedatangan Rasulullah saw. Orang-orang menyambut Rasulullah saw. yang kemudian
menginap di perkampungan Bani Amr bin ‘Auf selama 14 hari. Di sini Rasulullah
saw. membangun Masjid Kuba. Di hari Jum’at Rasulullah saw. meninggalkan Kuba
dan shalat Jum’at di Bani Salim bin ‘Auf. Rasulullah saw. kembali meneruskan
perjalanan. Orang-orang berebut memegang tali kekang unta beliau dan menawarkan
singgah ke rumah-rumah mereka. Rasulullah saw. berkata, “Biarkan saja unta ini
karena ia berjalan menurut perintah.”
Unta
Rasulullah saw. berhenti di tanah milik dua orang anak yatim yang diasuh As’ad
bin Zurarah. Rasulullah saw. membebaskan tanah itu dengan harga yang layak dan
membangun masjid. Itulah Masjid Nabawi. Selama pembangunan masjid dan rumah,
Rasulullah saw. tinggal sebagai tamu di rumah Abu Ayyub Al-Anshari.
Setelah
beberapa hari Rasulullah saw. mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi menjemput
keluarga Rasulullah saw. yang tertinggal di Mekkah, kecuali putri Rasulullah
yang bernama Zaenab.
Mempersaudarakan
Mujahirin dan Anshar
Selain
membangun masjid, mengubah nama kota dari Yatsrib menjadi Madinah, dan membuat
perjanjian dengan kelompok-kelompok Yahudi dan kabilah lainnya, Rasulullah saw.
juga mempersaudarakan antara kaum muslimin asal Mekkah -disebut
Muhajirin-dengan kaum muslimin asal Madinah -disebut Anshar–. Jumlah mereka
seluruhnya 90 orang pria. Mereka dipersaudarakan untuk saling tolong menolong
dan saling memberi warisan setelah mereka meninggal kelak, selain memberi
warisan kepada kaum kerabat mereka sendiri. Sampai ketentuan saling mewarisi
ini dihentikan oleh Allah swt. dengan turunnya ayat 75 surat Al-Anfal. Dengan
persaudaraan ini, beban sosial dari peristiwa hijrahnya kaum Muhajirin dari
Mekkah yang tanpa membawa harta sedikitpun, terselesaikan.
Perubahan
Arah Kiblat
Selama 16
bulan Rasulullah saw. melaksanakan shalat menghadap ke Baitul Maqdis,
Palestina. Orang-orang Yahudi mengklaim bahwa Rasulullah saw. menyamai kiblat
mereka. Mereka berkata bahwa arah kiblatnya sama dengan mereka, maka agama
Rasulullah hampir menyamai agama mereka.
Karena itu,
Rasulullah saw. menginginkan agar Allah swt. mengubah arah kiblat ke Mekkah.
Atas harapan Rasulullah saw. ini, Allah swt. menurunkan ayat 144 surat
Al-Baqarah. “Sungguh kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Atas
perintah Allah swt. ini, seluruh kaum muslimin membalikan arah kiblat 180
derajat, dari Baitul Maqdis menuju Baitullah di Mekkah. Peristiwa besar ini
menjadi ujian bagi kaum muslim dan juga kaum kafir.
0 komentar:
Posting Komentar